Hembusan angin malam nan dingin membuat gadis yang sedang berdiri di teras rumahnya mengeratkan balutan jaket pada tubuhnya. Sambil mengusap-usap tangan, kepalanya menoleh ke dua arah secara bergantian seakan sedang dalam pencarian akan sesuatu—atau seseorang.

Thea despised the fact that she was waiting for him to come. That she missed him. She was supposed to be mad at him, yet she found it hard to do that.

Ketika tidak ada tanda kehidupan apapun yang memasuki pandangannya, ia membalikkan badan hanya untuk terkejut akibat sosok yang dari tadi menunggu tepat di belakangnya. Ibu Thea menatap anak gadisnya dengan sebuah senyum kecil penuh arti.

“Nungguin siapa sih, Dek, sampe gak sabar gini? Hati-hati lho entar kamu malah ditemenin sama temen dari dunia lain,” tanya sang ibu dengan nada yang menggoda.

“Temen, Maaa. Temen dunia siniiii. Mau ngobrol bentar doang kok,” jawab Thea dengan cemberut, mengundang tawa kecil dari wanita di depanya.

“Si Pierre itu, ya?”

Suara Thea seakan menghilang, terkejut karena pertanyaan yang baru saja didengarnya. Sepengingatan gadis tersebut, ia hanya pernah menyebutkan nama tersebut sekali kepada ibunya dan wanita tersebut pun juga terkenal sangat pelupa apabila berkaitan dengan nama orang.

Sang ibu kembali tertawa melihat ekspresi bingung dari anaknya.

“K-Kok Mama tau?”

Let’s just say kakak kamu kalo bosen di rumah sakit kerjaannya gosip terus sama mama,” ungkap ibu Thea sembari perlahan menarik anaknya untuk kembali masuk ke dalam rumah.

Sial… Kak Maguna >:(

“Kata kakak, kamu lagi ada masalah sama dia? Tapi kamu gak usah cerita kalau kamu gak mau, Dek.”

Thea menghembuskan napas panjang sebelum menganggukkan kepalanya kecil. “Iya… lagi ada masalah… kayaknya.”

Kata terakhir dalam kalimatnya keluar dalam sebuah bisikan yang—entah sial atau tidak—masih tertangkap oleh telinga sang ibu.

“Kayaknya?”

“Dia jadi agak menjauh tiba-tiba… tapi pas aku tanya kalo aku ada salah atau enggak, katanya enggak ada…”

Lalu senyuman itu datang kembali—senyuman hangat sang ibu kepada sang anak yang sedang berada dalam kebimbangan.

“Hmm gitu…,” ucap ibu Thea sebelum mengelus puncak kepala anak gadisnya dengan lembut, seakan ia masih gadis yang sama yang dulu merengek apabila tidak dibelikan Happy Meals sepulang sekolah.

Karena pada aslinya, Thea tidak pernah berubah pada mata ibunya. Masih anak gadis yang selalu berlari mencari kehangatan dalam pelukannya ketika dunia sedang jahat.

“Yaudah… kan kalian mau ketemuan nih sekarang… dibicarain baik-baik yaa, Dek. Inget, jangan pake emosi, gak bakal selesai. Dengerin dulu sisinya dia baru ceritain juga sisi kamu. Mama yakin kamu sama Pierre udah cukup dewasa buat selesain ini sendiri, gak perlu diperpanjang lagi masalahnya.”